Sunday, April 19, 2009

Memberitakan Injil di Ambang Maut



Memberitakan Injil di Ambang Maut


Ini adalah kisah misionaris sekaligus produser program televisi Kristiani Travel the Road asal Amerika Serikat, Timothy Scott dan Will Decker, yang sering bersinggungan dengan maut saat bepergian memberitakan injil.
Scott dan Decker, keduanya berusia 30-an tahun, ‘bersenjatakan’ kamera video dan tas ransel, saat mengelilingi dunia dan memberitakan pesan kepada mereka yang belum terjangkau oleh berita Injil : Yesus adalah satu-satunya jalan ke surga. Pada saat yang sama, mereka memproduksi Travel the Road yang ditayangkan Trinity Broadcasting Network.
Dari semua pengalaman mereka, badai salju di padang pasir Mongolia adalah yang paling mencekam lantaran cuacanya yang begitu dingin. “Anda tidak dapat bertahan lebih dari dua jam dalam situasi seperti itu,” jelas Scott kepada ABC News. Tak pelak, hanya kekuatan doa dan pimpinan Tuhan lah yang menyelamatkan mereka.
“Udara dinginnya sangat tak masuk akal,” imbuh Decker.
Baik Scott dan Decker mengakui bahwa mereka menjalani hidup yang tak biasa, seperti diintai oleh singa di Ethiopia dan diancam oleh lintah di Kalimantan. Bahkan di Burundi, Afrika, mereka ditodong oleh senjata api. Tah hanya itu, di Somalia, mereka melakukan penginjilan di jalan-jalan di mana tentara setempat berseliweran sambil memanggul senjata. Dan pernah terlempar dari truk yang sedang melaju kencang di Sudan.
Mereka bertahan hidup dengan mengkonsumsi buah-buahan dan binatang liar seperti kera. Keduanya menyatakan berani untuk mengambil risiko menginjili di daerah rawan konflik karena merasa terpanggil sejak semula. “Hasrat kami adalah untuk menyebarkan Injil di tempat-tempat di mana kabar baik sama sekali belum diberitakan,” aku Decker.
“Dari apa yang kami ketahui di dalam hati, dan dari pesan yang kami usung yakni barang siapa yang tidak menerima keselamatan akan masuk ke dalam neraka bagaimana mungkin kami tidak melakukan penginjilan itu?” Scott menambahkan.
Selama badai salju di Mongolia, keduanya menemukan sebuah tenda dan sebuah keluarga yang menawarkan mereka semangkok sup panas. “Sekali lagi, Tuhan telah menyediakan pertolongan dan kami tidak jadi mati di sana,” papar Scott. Tak cukup sampai di situ keesokan harinya kedua penginjil itu diculik dan tidak diperkenankan menginjili oleh pengemudi yang membawa mereka. Setelah 24 jam, mereka dibantu oleh polisi di tempat pemberhentian truk tanpa kekerasan.
“Saat itu kami tak henti-hentinya berdoa memohon perlindungan Tuhan, dan Dia telah menjawabnya. Kami percaya, Tuhan sanggup menolong kami melewati peristiwa apa pun juga,” tegas Decker.
Sebagai penginjil ‘jalanan’ mereka harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, agar segala sesuatu berjalan lancar. Sebab, tak jarang mereka dikecam lantaran ‘pekerjaan’ mereka dianggap berpotensi menghancurkan kebudayaan leluhur setempat. Meski demikian, ini disanggah mati-matian oleh Scott yang menyatakan bahwa berpindah agama bukan berarti harus berpindah kebudayaan.
“Kami mengubah keyakinan hati mereka,” sanggah Scott. “Kami tidak mengubah bagaimana mereka bertindak atau hal-hal tertentu lainnya, melainkan hanya apa yang ada di dalam hati mereka. Tak dipungkiri perpindahan agama dapat berdampak pada perubahaan kebudayaan, tapi Scott percaya bahwa setiap orang memiliki kebebasan untuk memilih kepercayaan mereka.
Dan, meski perjalanan Scott dan Decker kerap diwarnai bayang-bayang maut dan ketidakpastian, keduanya tetap berpegang teguh pada pekerjaan mulia itu sambil bersandar pada pernyataan dari penginjil kenamaan, John Wesley, “Saya tetap hidup abadi di dunia hingga Tuhan memutuskan untuk mengambil saya.”

No comments:

Post a Comment