Sunday, April 19, 2009

Sadhu Sundar Singh

Sadhu Sundar Singh

"Sundar, mari, sudah lebih dari jam 12 malam nih, tidurlah anak-ku. Kamu harus tidur, umur-ku 8 tahun" Dengan taat, dan penuh hormat Sundar mengembalikan kitab-kitab suci di tempatnya.
‘Walaupun keluarga saya orang Sikh, kami sangat menghormati kitab-kitab Hindu. Ibu saya sangat mengasihi Tuhan dan merupakan penganut setia ajaran-ajaran Hindu. Setiap hari ia bangun sebelum subuh dan menyiapkan dirinya dengan mandi adat dan membaca dari kitab Bhagavad Gita atau dari salah satu tulisan suci. Hidupnya yang suci dan ibadahnya yang total sangat mempengaruhi saya dibandingkan dengan anggota keluarga yang lain.
Sejak kecil, ibu menekankan kepada saya satu kebiasaan di atas semuanya, yaitu langsung setelah saya bangun pagi, tugas saya yang pertama adalah untuk berdoa kepada Tuhan untuk penyegaran spiritual dan berkat-berkat. Baru setelah itu, saya boleh sarapan. Ada kalanya saya membantah dan bersikeras untuk sarapan dulu, tetapi ibu tidak pernah mengalah. Dengan bujukan dan bila butuh, kekerasan, ia menekankan kepada saya peraturan ini di dalam jiwa saya, "Carilah dulu Tuhan dan setelah itu baru hal-hal yang lain."
Pada waktu itu saya terlalu muda untuk mengenal nilai penting pelajaran ini dan saya melawannya. Di kemudian hari, saya mulai menghargai teladan dia. Setiap kali saya mengenang kembali teladan hidupnya, saya menaikkan syukur kepada Tuhan. Sejak saya masih kecil ibu telah menanam dan memupuk di dalam diri saya kasih dan takut akan Tuhan. Di dalam diri ibu terdapat terang yang besar dan hatinya merupakan pelatihan spiritual yang terbaik bagi siapa saja.
"Kamu tidak boleh ceroboh dan duniawi," ia akan memberitahu saya. "Carilah kedamaian jiwa, dan kasihilah Tuhan senantiasa. Suatu hari nanti kau harus memberikan diri sepenuhnya untuk mencari, dan kamu harus mengikuti jalan seorang sadhu."’ (Sadhu secara harfiah berarti "orang miskin" atau "pengemis". Artinya dapat disamakan sebagai "bhiksu" dalam agama Budha atau "fakir" dalam Sufisme)
Sejak kecil Sundar berguru kepada imam-imam Sikh dan menjadi murid seorang Sadhu tua yang tinggal di hutan. Tetapi walaupun ia sudah menyerap semua yang diajarkan ia masih belum merasa puas. Ia dapat mengutip dari Upanishads, Darsanas, Bhagavad Gita dan Shastaras, kitab-kitab orang Hindu; kitab milik orang Islam, Al Quran dan Hadis, juga sudah dihafalnya.
Semuanya terlihat natural dan sederhana waktu ibunya masih hidup tetapi setelah kematian ibunya, pencarian spiritualya terasa sulit dan berat. Imannya diselubungi oleh keraguan. Kata-kata sadhu tua terdengar kosong dan tak berarti. Kata-kata Vedas dan kitab-kitab yang lain tidak lagi menjawab pencariannya. Semuanya membingungkan. Hidup orang-orang di sekitarnya penuh dengan kemunafikan. Di manakah api dan kejelasan yang dimiliki orang-orang Sikh mula-mula?
Dan sekarang misionaris Kristen membawa kebenaran lain yang semakin membingungkan Sundar. Kesetiaannya kepada ajaran leluhurnya membuat Sundar mulai memberontak.
"Ini bukan kebenaran leluhur dan budaya kita. Ini kebenaran asing yang dibawa orang pendatang yang tidak memahami cara-cara kita. Mengapa ayah menyekolahkan saya di sekolah Kristen? Saya lebih senang ke sekolah pemerintah walaupun saya harus berjalan 12 km melewati gurun. Saya seorang Sikh. Saya akan tunjukkan pada mereka semua..."
Lalu suatu hari Sundar mengambil kitab orang Kristen dan di perkarangan sekolahnya ia mencabik-cabik dan membakarnya bersama teman-temannya yang lain. Hal ini tidak penah terjadi di desa itu. Tidak ada orang yang berani membakar kitab-kitab suci milik agama lain.
Bapanya Sardar Sheh Singh dipanggil dan ia menyaksikan sendiri tindakan berani anaknya. Sardar menyeret anaknya, "Apakah kamu gila? Mengapa kamu melakukan hal yang gila ini? Inikah yang diajarkan ibu-mu? Inikah caranya kamu membalas orang yang mengajar kamu? Aku memerintahkan kamu menghentikan tindakan yang gila ini!"
Setelah kejadian itu selama dua hari perasaan Sundar berkecamuk, ia bingung karena ibunya tempat ia bergantung sudah tidak ada lagi dan ayahnya merasa dipermalukan oleh dia. Ia merasa kosong dan tanpa pengharapan. Firman-firman dari kitab-kitab suci mengiang-ngiang dibenaknya. Dari Guru Nanak, "Aku tidak dapat hidup sesaat pun tanpa Engkau, ya Tuhan." Dari Guru Arjim, "Kami merindukan Kau, ya Tuhan. Kami haus akan Engkau. Kami hanya menemukan damai dan istirahat di dalam Engkau."
Itulah satu-satunya harapan. Jika ada Tuhan, maka biarlah Ia menyingkapkan jalan damai itu. Jika tidak ada Tuhan maka sia-sia meneruskan hidup ini. Setelah bergumul dengan kesia-siaan selama tiga hari, Sundar yang hanya berumur 15 tahun pada waktu itu memutuskan langkah yang seterusnya.
Ia bangun jauh sebelum fajar menyingsing dan melakukan mandi adat. Ia membaca mantra kuno sebagaimana yang diajarkan ibunya. Tetapi pagi ini, merupakan kali yang terakhir.
Sundar Singh menulis, Aku berdoa dalam keputus-asaan, "Tuhan, jika Engkau memang ada, nyatakanlah diri-Mu padaku. Jika aku tidak menerima jawabannya, aku akan membaringkan kepala aku di jalur trek kereta api. Aku akan mencari jawaban kepada pertanyaan ini di luar hidup ini."
Sambil bermeditasi saya menunggu kereta api yang setiap pagi melewati kampung. Selang beberapa menit saya melihat sesuatu yang aneh. Terdapat sinar terang di kamar saya. Awalnya saya pikir ada benda yang sedang terbakar, tetapi setelah melihat ke luar jendela dan pintu, saya tidak menemukan sumber terang itu.
Kemudian, suatu pikiran muncul di benak saya, mungkin ini suatu jawaban dari Tuhan.
Jadi dengan segera saya kembali ke tempat saya biasanya berdoa dan terus memandang pada terang yang aneh itu. Tiba-tiba saya melihat suatu figur di dalam terang itu, muncul suatu perasaan yang aneh seolah-olah saya telah mengenal figur itu. Tapi sosok itu bukan Siva atau Krishna atau penjelmaan dewa Hindu yang lain sebagaimana yang saya harapkan.
Lalu saya mendengar suatu suara berbicara dalam bahasa Urdu, "Sundar, berapa lama lagi engkau akan mencemooh Aku? Aku telah datang untuk menyelamatkan engkau karena engkau telah berdoa untuk mencari jalan kebenaran. Mengapa engkau tidak menerimanya?"
Di saat itulah saya melihat bekas-bekas darah di tangan dan kakinya dan dari situ saya tahu bahwa yang berbicara dengan saya adalah Yesu, sosok yang diproklamir oleh orang-orang Kristen itu. Dengan takjub saya tersungkur di kakinya. Hati saya dipenuhi kesedihan dan penyesalan yang mendalam atas penghinaan dan perbuatan saya yang kurang ajar itu, tetapi di waktu yang bersamaan hati saya juga dipenuhi oleh damai sejahtera.
Inilah sukacita yang saya cari selama ini. Inilah surga....dan tiba-tiba visi itu hilang, tetapi damai dan sukacita di hati saya tetap menyertai saya.
Saya langsung membangunkan ayah saya dan memberitahunya apa yang telah saya alami, dengan terus terang saya memberitahunya bahwa saya sekarang adalah pengikut Yesu. Ayah saya menyuruh saya kembali ke tempat tidur saya. "Ada apa dengan engkau. Baru kemarin engkau membakar kitab suci orang Kristen. Sekarang engkau berkata engkau orang sudah menjadi seperti mereka. Anak-ku, kembalilah ke kamar dan istirahatlah. Engkau sedang lelah dan bingung. Sebentar lagi engkau akan merasa lebih enak."’
Ayahnya berusaha untuk sabar dan memahami anaknya karena ayahnya berpikir Sundar masih dalam keadaan sedih dan depresi karena kehilangan ibunya. Jadi ayahnya coba menghindar dari berdiskusi tentang pengalamannya yang aneh itu.
Sundar meluangkan banyak waktu berdiam diri dan bermeditasi. Ia mau menebus dosa yang telah dilakukan terhadap Yesu yang telah menyatakan diri kepadanya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasakan bahwa pelepasan hanya akan datang jika ia siap untuk melayani Yesus dan mengumumkan bahwa ia sekarang pengikut Yesu yang baru saja ia hina di tempat umum.
Tetapi tidak ada yang menyangka, pengakuan Sundar bahwa ia sekarang percaya pada Yesu menimbulkan dampak yang sebegitu besar. Teman-temannya mulai menuduh guru-guru Kristen di sekolah sebagai dalang yang telah memaksa Sundar untuk menjadi Kristen. Reaksi keras dari para siswa dan orang-orang kampung yang lain mengakibatkan sekolah di Rampur, Punjab itu harus ditutup dan para misionaris harus meninggalkan tempat itu ke kota lain.
Di rumah ayah Sundar berusaha keras membujuk anaknya untuk meninggalkan kepercayaan barunya. "Anakku yang tersayang, engkaulah segalanya bagiku. Sebagai ayahmu, aku memohon agar engkau mempertimbangkan keluargamu. Tentunya engkau tidak mau keluargamu dikucilkan. Tidaklah mungkin agama Kristen mengajarkan ketidak-taatan kepada orang tua. Penuhilah tanggungjawabmu dan menikahlah. Aku telah memilih calon istri bagimu, sesuai dengan budaya kita dan semuanya sudah diatur. Sebagai hadiah pertunangan aku akan memberikan warisan yang akan memenuhi segala kebutuhan engkau dan keluarga engkau seumur hidup. Anakku, aku bukan orang yang terlalu menuntut, tetapi jika engkau menolak, aku menganggap bahwa engkau nekat untuk memalukan nama baik keluarga dan aku tidak punya pilihan kecuali tidak lagi mengaku engkau sebagai anak.
Engkau dilahirkan seorang Sikh, engkau memakai gelang seorang Sikh, engkau tidak pernah menggunting rambutmu sebagai tanda engkau seorang Sikh, apakah engkau lupa apa artinya nama yang telah dipilih oleh leluhur kita, "Singh"? Sudah tiba waktunya engkau membuat pilihan."
Sundar Singh kembali ke kamarnya dan berdoa. Apa yang harus dia lakukan?
"Anakku, aku bukan orang yang terlalu menuntut, tetapi jika engkau menolak, aku menganggap bahwa engkau nekat untuk memalukan nama baik keluarga dan aku tidak punya pilihan kecuali tidak lagi mengaku engkau sebagai anak. Engkau dilahirkan seorang Sikh, engkau tidak pernah menggunting rambutmu sebagai tanda engkau seorang Sikh, apakah Engkau lupa apa artinya nama yang telah dipilih oleh leluhur kita, Singh? Sudah tiba waktunya engkau membuat pilihan."
Sundar Singh kembali ke kamarnya. Ia berdoa dan setelah itu ia menggunting rambutnya. Dengan tindakan itu ia sudah menyatakan pilihannya.
Wajah ayahnya sangat mengerikan; perasaan ayahnya bercampur aduk - selain marah, ia juga merasa frustrasi dan malu. Dengan hati yang berat ia akhirnya mengusir anaknya, "Dari hari ini engkau bukan lagi anak-ku. Bagi-ku, engkau tidak pernah lahir. Pergilah, kami tidak pernah mengenal engkau." Lalu pintu rumah ditutup dan Sundar ditinggalkan sendirian di kegelapan malam.
Sundar Singh menulis, "Aku tidak akan pernah melupakan malam di mana aku diusir dari rumah. Aku tidur di bawah pohon dan cuacanya cukup dingin. Aku tidak pernah mengalami hal sedemikian. Aku membatin, ‘Malam tadi aku tinggal di rumah yang nyaman. Sekarang aku kedinginan, haus dan lapar. Kemarin aku memiliki segala sesuatu, malah lebih. Hari ini, aku bahkan tidak punya tempat berlindung dan tidak ada pakaian dan makanan."
Memang secara eksternal, malam itu sangat sulit bagiku tetapi aku memiliki sukacita yang indah dan damai di hati. Aku sedang mengikuti langkah Tuan aku yang baru - Yesus, yang juga tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya, dan Ia juga dihina dan ditolak. Di tengah kemewahan dan kenyamanan rumah, aku tidak menemukan damai. Tetapi Tuan aku telah mengubah penderitaan-ku menjadi damai, dan damai ini tidak pernah meninggalkan aku.
Setelah keluar dari rumah, aku mencari guru-guru yang pernah mengajar-ku di sekolah dulu dan mereka menerima aku dan mengatur untuk-ku belajar di Christian Boys' Boarding school di kota Ludhiana. Orang-orang di sana menerima dan merawat aku dengan baik. Tetapi aku kaget melihat kehidupan pelajar-pelajar lain yang sama sekali tidak percaya pada Tuhan termasuk beberapa pelajar Kristen lokal. Sebelumnya aku pikir bahwa orang-orang Kristen adalah seperti malaikat, tetapi dalam hal ini ternyata aku keliru."
Pada hari ulang tahunnya yang ke-16, Sundar Singh meninggalkan sekolahnya dan menghilang ke dalam hutan. Setelah tiga puluh tiga hari ia muncul kembali dengan memakai jubah seorang sadhu*. Pengembaraannya bermula.
Dari titik itu ia berpaling total dari dunia dan menganggap dirinya sebagai seorang yang tidak memiliki apa-apa sama seperti seorang pengemis - yaitu seorang sadhu untuk Yesu. Hutan menjadi tempat tinggalnya dan hewan-hewan liar menjadi temannya.
Setiap kali Sundar keluar dari hutan ia akan mengunjungi pelajar-pelajar di sekolah Kristen tempat ia belajar sebelumnya. Dan anak-anak di sekolah itu sangat senang mendengarkan dia dan keberanian dan kesaksian hidup Sundar menjadi inspirasi bagi mereka.
Teman baik Sundar Singh, C.F Andrews menceritakan bagaimana hidup sekelompok pelajar berubah karena persahabatan mereka dengan Sundar Singh. Seorang pelajar dan atlet yang berprestasi di sekolah memutuskan untuk tidak menerima jabatan yang tinggi di pemerintah setelah ia lulus tetapi memilih untuk mengabdikan diri pada Tuhan. Bila seorang dari kasta "untouchable" (tidak boleh disentuh) jatuh sakit, beberapa pelajar tinggal bersamanya di mes yang kotor dan merawatnya hingga sembuh. Suatu malam seorang pelajar senior menemukan seorang tua yang sudah sekarat yang ditinggalkan di dalam hutan untuk mati. Pria tua itu menderita penyakit yang dapat menular tetapi tanpa memikirkan resiko, pelajar itu menggendongnya sejauh 5 km melewati jalan gunung untuk mencari bantuan. Hal-hal seperti ini tidak pernah terjadi di dalam sejarah sekolah itu. Dari kelompok kecil ini, pengaruh Sundar Singh sebagai seorang sadhu India bagi Yesu mulai berkembang dan semakin banyak orang yang tertarik untuk mendengarkannya dan menjadi pengikutnya.
Sepanjang hidupnya, Sundar Singh sangat menghargai ungkapan pengabdian orang-orang Hindu, Budha, Sikh dan Muslim. Ia sangat akrab dengan semua ajaran agama-agama tersebut. Tetapi pertemuan mistis yang memimpin pada pertobatannya meninggalkan kesan yang begitu mendalam yang membuatnya mengabdi total kepada Kristus. Ia tidak pernah mengkritik praktik agama yang lain tetapi ia selalu siap untuk menceritakan bagaimana Yesu telah menyentuh dan mentransformasi dia.
Baginya Yesu adalah Kebenaran itu - kegenapan kerinduan manusia yang terdalam untuk damai yang internal dan juga eksternal. Kerinduan dia untuk membagikan ini membuatnya mengembara dari suatu tempat yang ke suatu tempat yang lain selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Ia menjelajah melintasi benua India dan mendaki pergunungan Himalaya ke Tibet dan Nepal.
Ia juga mengunjungi China, Malaysia dan Jepang di Asia dan akhirnya ia melanjutkan perjalanan ke Australia, Inggris, Amerika dan juga Eropa. Setiap tempat yang ia kunjungi, ribuan bahkan puluhan ribu orang datang untuk mendengarkannya.
Tetapi pengalaman dan pengamatannya akan kekristenan yang ditemukannya membuat ia menyimpulkan bahwa kekristenan Barat mungkin kaya dengan organisasi, teologi, doktrin dan tradisi tetapi miskin dalam roh dan sangat perlu dipusatkan kembali pada foundasi aslinya, yaitu Kristus yang hidup.
Di tahun kedua puluh tiga ia hidup sebagai seorang sadhu, Sundar Singh menghilang di pergunungan Himalaya dalam perjalanannya melintasi pergunungan ke Tibet. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi kepadanya.
Selain daripada kesaksian hidupnya ia meninggalkan bagi kita 6 buku kecil yang ditulisnya di akhir hidupnya atas dorongan teman-teman dan pengikutnya. Seperti lazimnya seorang mistis, tulisannya sangat padat dan singkat karena di dalam pengertian Sadhu Sundar Singh, salib itu bukan sekadar untuk dikhotbahkan tetapi untuk dijalankan. Itulah inti dari seluruh pesan hidup salah satu tokoh spiritual yang paling besar di Asia.
*Sadhu secara harfiah berarti "orang miskin" atau "pengemis"
(Artikel ini ditulis berdasarkan buku Wisdom of the Sadhu, The Teachings of Sundar Singh, oleh Kim Comer)



No comments:

Post a Comment